(novel sulam) 1. Luka
“Ada yang lebih sejuk dari tempat ini, ingin ke sana?”
“Kemanapun, asal bersamamu, aku mau”
Kita tertawa, genggamannya hangat sekali dicuaca jogja yang akhir-akhir ini hujan dengan intensitas ringan, kadang gerimis betah seharian jatuh menari mencipta genangan yang bagi sebagian orang akan membangkitkan ingatan, masalalu, mantan dan berbagai hal membahagiakan sampai menyakitkan.
Aku dan Afra masih berjalan, sambil saling mempererat genggaman, sesekali tangannya lepas memegang pundakku untuk sekedar saling menghangatkan. Kita berdua penyuka suasana alam, awalnya aku biasa akhirnya menjadi suka sebab sangat jarang Afra mengajakku pergi ke pusat kota, berbelanja, menonton atau sekedar nongkrong di taman kota atau kafe-kafe seperti anak muda lainnya. Afra juga sangat sabar menjelaskan berbagai pengalamannya tentang alam.
Kedua kakiku menyamakan langkah Afra yang besar-besar, aku merasa sangat kecil ketika berjalan di sampingnya, kepalaku yang hanya sebahu tubuh tegapnya dan kakiku yang pendek selalu kalah melangkah, hampir setiap jalan berdua aku tertinggal. Afra sipejalan cepat dan aku yang terlampau lambat.
“Anak kecil, sini gendong aja” Afra nampak berhenti sebab aku melepas genggamnya, aku ngosngosan mendaki gunung api purba ini.
“Kakimu itu yang tidak tau ukuran setandar manusia melangkah, gede-gede kaya gajah” aku mendengus.
“Yaudah, ayo sini jalan lagi pelan aja, kita nikmatin sama-sama” dengan senyum manis, ah sial aku selalu jatuh ketika dia senyum sebab sabar mengahadapiku yang bersifat anak-anak.
Kita berjalan lagi, lebih pelan dan menikmati, Afra nampak berbinar dari muka-mukanya. Aku tau, dia sangat merasa senang bersahabat dengan alam berulang kali dia bilang ‘aku ingin membangun hutan di rumahku, atau ‘aku yang punya rumah di hutan’ dan jawabku selalu, ‘aku bersamamu, apapun yang kamu mau’. Aku entah merasa aman bersamanya, melangkah kemanapun kalau dengannya tidak ada bosan, dia selalu punya cara dan ciri tersendiri, menyikapi diriku dalam semua kondisiku dan keadaan moodku.
Perjalanan yang cukup panjang dari bukit lainnya yang pernah kita pijaki bersama, harus melewati beberapa hutan yang sudah diberi rute dengan jalan hampir mirip di gunung, kata Afra.
Beberapakali Afra berhenti, sekadar membidik burung atau pohon yang langka baginya, dan aku juga sadar dia beberapakali mengambil foto diriku, yang sudah cemberut sebab kecapean. Aku menyukai alam tapi memang punya lemah fisik, Afra sengaja memberikan pelatihan sepekan sekali mendaki bukit kecil atau sekedar wisata yang ada tanjakannya, dia bercita-cita membawaku ke gunung seluruh indonesia.
Afra sudah beberapakali mendaki di gunung jawa, tapi belum pernah mendaki bersamaku, aku sangat ingin tapi balik kepada masalah fisik, yang harus kulatih sebelum perjalanan yang melelahkan sesuai agenda itu direncanakan.
Afra kembali menggegam tanganku dengan muka dia, khas manis senyum seperti arumanis, beberapakali dia bercerita di gunung ada pohon seperti ini, pernah dia makan rumput sebab kehabisan bekal. Beberapakali Afra juga menunjukkan gambaran gunung yang mistis tapi selalu membawa candu. Aku hanya diam menyimak, dari ceritanya aku sudah merasa mendaki, melewati tempat-tempat yang banyak orang berbondong-bondong ke sana. Bahkan ketika bersama temanku yang lain menceritakan pendakian, aku yang belum mendaki tapi tau, letak-letaknya, gambarannya bahkan tarif masuknya. Afra selalu berusaha mendekati sempurna mendeskripsikan apa saja denganku, dia sosok pendiam tapi banyak cerita denganku, dia sosok yang dingin tapi hangat bersamaku, dia sosok yang tangguh tapi aku tau air matanya selalu sedia meluruh di depanku sebab keluarganya sebab masalalunya.
Pos tiga sudah terlaksana tinggal beberapa langkah lagi akan sampai puncak. Aku sudah menghabiskan dua botol air mineral yang dibawa Afra, bahkan sepertinya Afra tidak minum sebab sudah habis padaku. Aku banyak diam Afra banyak bercerita, aku selalu iri dengan pengalamannya yang sudah menguasai beberapa cara hidup di alam bebas, tidak panikan seperti diriku, dan punya ide diluar kepala yang selalu tidak bisa kuduga pembawaannya yang tenang selalu membuatku aman. Sekali lagi bersamanya aku tidak merasa harus menjadi siapapun, hanya menjadi diriku, yang bersifat manja, ceplas-ceplos dan apa adanya.
Panorama puncak gunung api purba nampak sejuk, membentang diantara langit dan bumi yang kupijaki. Angin sepoi-sepoi menggoda seolah mengantar tidur badan sehabis tracking yang tak begitu panjang tapi cukup melelahkan. Hawa dingin yang tadi menyapa sepanjang perjalanan diganti dengan kesejukan di atas 700 m.
Hawa panas masih tersisa, sekarang pukul dua berarti tadi aku hanya butuh dua jam yang sebenarnya bisa diringkas menjadi satu jam, hanya saja aku banyak menuntut istirahat. Meskipun begitu pemandangan disini membayar lunas rasa penasaranku. Ilalang yang tumbuh subur menutup beberapa celah batu, pohon-pohon yang melenggok gemulai sebab angin yang mengibas-kibas. Langit tampak biru dengan beberapa awan menggantung putih.
Di depanku, manusia yang senyumnya selalu bikin luruh sedang diam, matanya terpejam mulutnya sesekali mengirup udara dan rambut lurusnya yang dipotong pendek kecuali poninya, bergerak kesana-kemari mengikuti angin yang berlari.
Dibelakang tempat berdirinya Afra ada batu cukup besar, aku merangkak naik dan memilih Aku duduk di atasnya, pemandangan disini membuatku tidak ingin pulang. Sejuk dan menenangkan jauh dari kota penuh keributan. Jauh dari kemacetan, jauh dari rasa bosan.
Dari belakang ini aku memandangi bahu afra yang tegap, dia nampak betah berdiri menikmati alam seperti sedang menikmati pelukan alam. Afra akhir akhir ini memang kurang hangat seperti biasanya sebab dia yang sibuk, agenda yang terlaksana sekarangpun berkat dadakan tadi pagi dia memaksa memperbaiki jarak yang semu selama kesibukan dia yang begitu padatnya, membuat dia merasa jauh dariku katanya. Padahal aku baru tiga minggu keluar dari rumahsakit sebab typus yang melandaku.
Hari ini pun berkat nekat yang entah kenapa Afra tidak seperti biasanya mengajakku dalam kondisiku yang kurang baik. Kondisi ini menjadikan diriku berangan apakah dia mau mengungkapkan perasaan yang lebih dari pacaran, semacam tunangan atau nikah muda yang sering dia singgung denganku pada tahun ketiga yang sama-sama kita jalani ini. Ya tepatnya kenapa aku juga nekat, sebab sekarang tepat tiga tahun kita bersama dan afra juga menyempatkan waktu dari jam-jam sibuknya.
Tiga tahun bersama afra membawa banyak cerita, laki-laki yang terlampau sangat cuek dan pendiam itu selalu mengusik perasaanku. Caranya mendekatiku perlahan dan sampai akhirnya bersamanya menjadi sepasang kekasih. Katanya pula aku yang pertama menjalin hubungan dengannya, betapa aku merasa sangat bahagia mengetahui kenyataan manusia kaku tapi lucu itu menjadikan aku dewi hatinya.
Sekitar setengah jam aku menunggu Afra menikmati pelukan alam, akhirnya dia menengok mencariku. Matanya nampak terlihat ngantuk. Aku juga sedang menikmati suasana dan melepas jenuh, sebab sudah tiga minggu badrest yang hanya berkisar kamar mandi, kamar tidur dan segala macam obat yang justru membuatku tambah sakit rasanya.
“Anak kecil, ngapain naik batu, sini-sini ntar jatoh badanmu masih lemas pasti, sin-sini” Afra mengulurkan tangannya kusambut dengan senyum cengegesan.
Aku turun dan dipeluknya dari belakang, beberapakali dia juga memainkan rambutku yang sengajaku gerai. Dia selalu gemas katanya rambutku seperti bayi, lembut dan tipis.
“La, kalo saja aku bisa bangun rumah disini, bersamamu”
“Apa yang tidak bisa?” jawabku sambil memutar badan menghadapnya. Tangannya menggengam tangan kecilku,
“Tidak semua yang kamu mau, bisa terlaksana sesuai harapanmu” aku diam. Ada raut aneh dari Afra. Dia tidak seceria seperti tadi saat berangkat dan di jalan.
“Amalasya Malika Dirda, aku sayang sama kamu” Afra mencium tanganku cukup lama tapi tidak hangat seperti biasanya. Tidak biasanya Afra memanggil namaku secara lengkap. Pasti ada sesuatu yang terjadi. Afra selalu memberikan kode bahwa dia serius ketika memanggil nama lengkapku.
“Ada apa Fra? Apa yang sebenarnya terjadi?” aku sudah mulai curiga dengan perlakuannya yang sudah mulai aneh tidak seperti biasanya. Nampak kaku dan seperti ada yang disembunyikan. Dari gelagatnya yang aneh dan sering diam akhir-akhir ini ditambah kesibukan yang sebenarnya tidak masuk akal sebab dua minggu akhri-akhri ini susah dihubungi hal ini membuatku semakin curiga. Sekali lagi, afra berbeda dari caranya menatap yang pandangannya tidak menetap, caranya memegang tanganku yang seperti tidak ingin melepasku, dan caranya berbicara, berat dan seperti tertahan.
“Jujur saja, apa karena masalah mama dan papamu berlanjut ke pengadilan?” aku agak lancang, aku tau beberapakali Afra membicarakan kedua orang tuanya yang akan berpisah. Beberapakali cekcok bahkan hanya dengan masalah kecil saja. Afra tidak tau persis apa penyebabnya hanya saja dia pernah mendengar papanya menyukai perempuan lain, sejak lama. Sejak afra mengijakkan kaki di bangku kelas dua SMA. dan Afra sekarang sudah menduduki semester lima. Sudah lama tapi tetap saja ributnya tidak berujung penyelesaian bahkan kabarnya pekan lalu saat aku diopname, papanya sudah mentalak mamanya.
“Tidak Mala, aku sudah rela mereka tidak bersama mereka bertahan hanya karena terpaksa, terpaksa untuk menjadi orang tua yang melindungiku, terpaksa memberikan kasih sayang yang aku tau semua hanya terpaksa dan sudah cukup mereka tersiksa sebab kebersamaan yang mereka laksanakan hanya keterpaksaan, sebab berusaha melindungi janji suci yang mengikat dan aku, anak satu-satunya yang aku yakin meskipun mereka tidak bersama lagi, aku tetap anaknya. Aku sudah cukup umur dan bisa berfikir, kebahagiaanku bukan kebahagiaan mereka. Dan kebahagiaan mereka yang sesungguhnya ketika tidak bersama. Sebab kurasa bersama-sama mereka hidup, hanya mempertajam luka, janji papa yang tetap mudah diterima mama, tapi ingkarnya setiap hari. Mama yang tetap sabar sebab ingin aku tetap mendapat kasih sayang juga kehidupan yang penuh jaminan dan papa yang ternyata sudah tidak bisa dikendalikan. Sudahlah, semuanya memang harus terjadi. Tuhan memberi mereka waktu berjodoh hanya sampai saat ini” Afra menggengam tanganku kuat sekali, sampai tanganku berwarna pucat.
“Amalasya, kita harus berhenti” deg. Suaranya menggantung penuh keraguan. Aku menatap mata Afra yang terpejam.
“Fra, ada apa sampai kalimat yang tak pantas itu harus kamu keluarkan di hari perayaan tiga tahun kita” aku masih bersikukuh menatap matanya yang mataku sudah gelisah mengembun dan siap tumpah.
“La, ada hal yang tidak bisa aku bicarakan secara rinci”
“Fra, jangan bercanda”
“Aku tidak bercanda Amalasya Malika Dirda” aku muak mendengar dia memanggil namaku lengkap. Diulang-ulang, pada peristiwa menyakitkan yang sungguh aku tidak ingin ingat.
“AFRA” aku sengaja meninggikan suaraku “Gila, kamu gila kewarasanmu mana”
“Mala” suaranya melembut
“Cukup” aku angkat tangan dari gengamannya
“Sepertinya kita harus pulang sekarang, otakmu butuh diopname”
“La, mamaku sebenanya tidak setuju dengan hubungan kita berdua, sebab perempuan yang disukai papaku itu ibumu” suaranya pelan, tapi sangat tajam seperti tombak tepat sasaran.
Perlahan, tanganku melemas, mengendur dan aku mundur satu langkah ke belakang. Seperti petir beribu sambar, aku lemas. kenyataan dari omongan Afra barusan meruntuhkan semua yang ada.
Tubuhku meluruh, aku lemas sekali. mataku sudah rabun sebab airnya mengembun. Aku menyandar batu yang kutapaki tadi, tubuhku sudah turun duduk, bersandar ke batu. Afra nampak gelisah berulangkali mengusap matanya, yang berair dan tangannya nampak mengepal beberapakali.
Aku mengulas kembali cerita Afra tentang papanya yang suka dengan perempuan selain mamanya yang sudah lama. Dan aku mengulas juga cerita hidupku, ibuku baik-baik saja ibuku tidak pernah menunjukan apapun tentang ayah Afra. Setelah ayah pergipun ibu tidak mau menikah lagi. Ibuku yang Ibuku sosok hangat yang sangat kusuka. Bagaimana bisa?
Pikiranku sudah kalang kabut mengawang dan menerawang sosok ibuku, papa Afra dan hubunganku dengannya yang kandas tanpa kuduga.
“La”
“Apa lagi? kenyataan apa lagi yang harus ku dengar” aku sudah terduduk rubuh, mendongak melihat afra yang nampak silau dan kini terasa jauh.
“Tidak ada Mala, aku sayang denganmu, tapi aku lebih sayang dengan mamaku. Mamaku sebenarnya sudah tau sejak lama. Sampai akhirnya surat pengadilan tadi pagi datang, dan mamaku menangis di pelukanku, meminta aku berhenti mencintaimu, berhenti untuk...” Afra nampak berhenti bersuara.
“Berhenti untuk apa fra?” tanyaku dengan suaraparau
“Berhenti membawa sumber luka, pada kehidupan keluarga”
Aku tercekat dengan kalimat yang ringan dilontar mulutnya, tidak pernah kuduga sosok Afra mengatakan kalimat barusan. Aku beku badanku kaku pikiranku kacau kosong dan semua serasa berhenti kecuali air mataku yang mengalir tanpa henti, degupku mendadak mati suri, tulangku sudah rubuh, langit duniaku ikut runtuh.
Bahagia yang selama ini kulukis dengan Afra
Ternyata luka bagi ibunya.
#tugassma #tugassekolah #tugas #anaksekolahan #novel #sulam #luka #novelonline #part1 #sma #madrasahaliyah #puisi #sastra #cerpen #cerita #tugaskuliah
“Kemanapun, asal bersamamu, aku mau”
Kita tertawa, genggamannya hangat sekali dicuaca jogja yang akhir-akhir ini hujan dengan intensitas ringan, kadang gerimis betah seharian jatuh menari mencipta genangan yang bagi sebagian orang akan membangkitkan ingatan, masalalu, mantan dan berbagai hal membahagiakan sampai menyakitkan.
Aku dan Afra masih berjalan, sambil saling mempererat genggaman, sesekali tangannya lepas memegang pundakku untuk sekedar saling menghangatkan. Kita berdua penyuka suasana alam, awalnya aku biasa akhirnya menjadi suka sebab sangat jarang Afra mengajakku pergi ke pusat kota, berbelanja, menonton atau sekedar nongkrong di taman kota atau kafe-kafe seperti anak muda lainnya. Afra juga sangat sabar menjelaskan berbagai pengalamannya tentang alam.
Kedua kakiku menyamakan langkah Afra yang besar-besar, aku merasa sangat kecil ketika berjalan di sampingnya, kepalaku yang hanya sebahu tubuh tegapnya dan kakiku yang pendek selalu kalah melangkah, hampir setiap jalan berdua aku tertinggal. Afra sipejalan cepat dan aku yang terlampau lambat.
“Anak kecil, sini gendong aja” Afra nampak berhenti sebab aku melepas genggamnya, aku ngosngosan mendaki gunung api purba ini.
“Kakimu itu yang tidak tau ukuran setandar manusia melangkah, gede-gede kaya gajah” aku mendengus.
“Yaudah, ayo sini jalan lagi pelan aja, kita nikmatin sama-sama” dengan senyum manis, ah sial aku selalu jatuh ketika dia senyum sebab sabar mengahadapiku yang bersifat anak-anak.
Kita berjalan lagi, lebih pelan dan menikmati, Afra nampak berbinar dari muka-mukanya. Aku tau, dia sangat merasa senang bersahabat dengan alam berulang kali dia bilang ‘aku ingin membangun hutan di rumahku, atau ‘aku yang punya rumah di hutan’ dan jawabku selalu, ‘aku bersamamu, apapun yang kamu mau’. Aku entah merasa aman bersamanya, melangkah kemanapun kalau dengannya tidak ada bosan, dia selalu punya cara dan ciri tersendiri, menyikapi diriku dalam semua kondisiku dan keadaan moodku.
Perjalanan yang cukup panjang dari bukit lainnya yang pernah kita pijaki bersama, harus melewati beberapa hutan yang sudah diberi rute dengan jalan hampir mirip di gunung, kata Afra.
Beberapakali Afra berhenti, sekadar membidik burung atau pohon yang langka baginya, dan aku juga sadar dia beberapakali mengambil foto diriku, yang sudah cemberut sebab kecapean. Aku menyukai alam tapi memang punya lemah fisik, Afra sengaja memberikan pelatihan sepekan sekali mendaki bukit kecil atau sekedar wisata yang ada tanjakannya, dia bercita-cita membawaku ke gunung seluruh indonesia.
Afra sudah beberapakali mendaki di gunung jawa, tapi belum pernah mendaki bersamaku, aku sangat ingin tapi balik kepada masalah fisik, yang harus kulatih sebelum perjalanan yang melelahkan sesuai agenda itu direncanakan.
Afra kembali menggegam tanganku dengan muka dia, khas manis senyum seperti arumanis, beberapakali dia bercerita di gunung ada pohon seperti ini, pernah dia makan rumput sebab kehabisan bekal. Beberapakali Afra juga menunjukkan gambaran gunung yang mistis tapi selalu membawa candu. Aku hanya diam menyimak, dari ceritanya aku sudah merasa mendaki, melewati tempat-tempat yang banyak orang berbondong-bondong ke sana. Bahkan ketika bersama temanku yang lain menceritakan pendakian, aku yang belum mendaki tapi tau, letak-letaknya, gambarannya bahkan tarif masuknya. Afra selalu berusaha mendekati sempurna mendeskripsikan apa saja denganku, dia sosok pendiam tapi banyak cerita denganku, dia sosok yang dingin tapi hangat bersamaku, dia sosok yang tangguh tapi aku tau air matanya selalu sedia meluruh di depanku sebab keluarganya sebab masalalunya.
Pos tiga sudah terlaksana tinggal beberapa langkah lagi akan sampai puncak. Aku sudah menghabiskan dua botol air mineral yang dibawa Afra, bahkan sepertinya Afra tidak minum sebab sudah habis padaku. Aku banyak diam Afra banyak bercerita, aku selalu iri dengan pengalamannya yang sudah menguasai beberapa cara hidup di alam bebas, tidak panikan seperti diriku, dan punya ide diluar kepala yang selalu tidak bisa kuduga pembawaannya yang tenang selalu membuatku aman. Sekali lagi bersamanya aku tidak merasa harus menjadi siapapun, hanya menjadi diriku, yang bersifat manja, ceplas-ceplos dan apa adanya.
Panorama puncak gunung api purba nampak sejuk, membentang diantara langit dan bumi yang kupijaki. Angin sepoi-sepoi menggoda seolah mengantar tidur badan sehabis tracking yang tak begitu panjang tapi cukup melelahkan. Hawa dingin yang tadi menyapa sepanjang perjalanan diganti dengan kesejukan di atas 700 m.
Hawa panas masih tersisa, sekarang pukul dua berarti tadi aku hanya butuh dua jam yang sebenarnya bisa diringkas menjadi satu jam, hanya saja aku banyak menuntut istirahat. Meskipun begitu pemandangan disini membayar lunas rasa penasaranku. Ilalang yang tumbuh subur menutup beberapa celah batu, pohon-pohon yang melenggok gemulai sebab angin yang mengibas-kibas. Langit tampak biru dengan beberapa awan menggantung putih.
Di depanku, manusia yang senyumnya selalu bikin luruh sedang diam, matanya terpejam mulutnya sesekali mengirup udara dan rambut lurusnya yang dipotong pendek kecuali poninya, bergerak kesana-kemari mengikuti angin yang berlari.
Dibelakang tempat berdirinya Afra ada batu cukup besar, aku merangkak naik dan memilih Aku duduk di atasnya, pemandangan disini membuatku tidak ingin pulang. Sejuk dan menenangkan jauh dari kota penuh keributan. Jauh dari kemacetan, jauh dari rasa bosan.
Dari belakang ini aku memandangi bahu afra yang tegap, dia nampak betah berdiri menikmati alam seperti sedang menikmati pelukan alam. Afra akhir akhir ini memang kurang hangat seperti biasanya sebab dia yang sibuk, agenda yang terlaksana sekarangpun berkat dadakan tadi pagi dia memaksa memperbaiki jarak yang semu selama kesibukan dia yang begitu padatnya, membuat dia merasa jauh dariku katanya. Padahal aku baru tiga minggu keluar dari rumahsakit sebab typus yang melandaku.
Hari ini pun berkat nekat yang entah kenapa Afra tidak seperti biasanya mengajakku dalam kondisiku yang kurang baik. Kondisi ini menjadikan diriku berangan apakah dia mau mengungkapkan perasaan yang lebih dari pacaran, semacam tunangan atau nikah muda yang sering dia singgung denganku pada tahun ketiga yang sama-sama kita jalani ini. Ya tepatnya kenapa aku juga nekat, sebab sekarang tepat tiga tahun kita bersama dan afra juga menyempatkan waktu dari jam-jam sibuknya.
Tiga tahun bersama afra membawa banyak cerita, laki-laki yang terlampau sangat cuek dan pendiam itu selalu mengusik perasaanku. Caranya mendekatiku perlahan dan sampai akhirnya bersamanya menjadi sepasang kekasih. Katanya pula aku yang pertama menjalin hubungan dengannya, betapa aku merasa sangat bahagia mengetahui kenyataan manusia kaku tapi lucu itu menjadikan aku dewi hatinya.
Sekitar setengah jam aku menunggu Afra menikmati pelukan alam, akhirnya dia menengok mencariku. Matanya nampak terlihat ngantuk. Aku juga sedang menikmati suasana dan melepas jenuh, sebab sudah tiga minggu badrest yang hanya berkisar kamar mandi, kamar tidur dan segala macam obat yang justru membuatku tambah sakit rasanya.
“Anak kecil, ngapain naik batu, sini-sini ntar jatoh badanmu masih lemas pasti, sin-sini” Afra mengulurkan tangannya kusambut dengan senyum cengegesan.
Aku turun dan dipeluknya dari belakang, beberapakali dia juga memainkan rambutku yang sengajaku gerai. Dia selalu gemas katanya rambutku seperti bayi, lembut dan tipis.
“La, kalo saja aku bisa bangun rumah disini, bersamamu”
“Apa yang tidak bisa?” jawabku sambil memutar badan menghadapnya. Tangannya menggengam tangan kecilku,
“Tidak semua yang kamu mau, bisa terlaksana sesuai harapanmu” aku diam. Ada raut aneh dari Afra. Dia tidak seceria seperti tadi saat berangkat dan di jalan.
“Amalasya Malika Dirda, aku sayang sama kamu” Afra mencium tanganku cukup lama tapi tidak hangat seperti biasanya. Tidak biasanya Afra memanggil namaku secara lengkap. Pasti ada sesuatu yang terjadi. Afra selalu memberikan kode bahwa dia serius ketika memanggil nama lengkapku.
“Ada apa Fra? Apa yang sebenarnya terjadi?” aku sudah mulai curiga dengan perlakuannya yang sudah mulai aneh tidak seperti biasanya. Nampak kaku dan seperti ada yang disembunyikan. Dari gelagatnya yang aneh dan sering diam akhir-akhir ini ditambah kesibukan yang sebenarnya tidak masuk akal sebab dua minggu akhri-akhri ini susah dihubungi hal ini membuatku semakin curiga. Sekali lagi, afra berbeda dari caranya menatap yang pandangannya tidak menetap, caranya memegang tanganku yang seperti tidak ingin melepasku, dan caranya berbicara, berat dan seperti tertahan.
“Jujur saja, apa karena masalah mama dan papamu berlanjut ke pengadilan?” aku agak lancang, aku tau beberapakali Afra membicarakan kedua orang tuanya yang akan berpisah. Beberapakali cekcok bahkan hanya dengan masalah kecil saja. Afra tidak tau persis apa penyebabnya hanya saja dia pernah mendengar papanya menyukai perempuan lain, sejak lama. Sejak afra mengijakkan kaki di bangku kelas dua SMA. dan Afra sekarang sudah menduduki semester lima. Sudah lama tapi tetap saja ributnya tidak berujung penyelesaian bahkan kabarnya pekan lalu saat aku diopname, papanya sudah mentalak mamanya.
“Tidak Mala, aku sudah rela mereka tidak bersama mereka bertahan hanya karena terpaksa, terpaksa untuk menjadi orang tua yang melindungiku, terpaksa memberikan kasih sayang yang aku tau semua hanya terpaksa dan sudah cukup mereka tersiksa sebab kebersamaan yang mereka laksanakan hanya keterpaksaan, sebab berusaha melindungi janji suci yang mengikat dan aku, anak satu-satunya yang aku yakin meskipun mereka tidak bersama lagi, aku tetap anaknya. Aku sudah cukup umur dan bisa berfikir, kebahagiaanku bukan kebahagiaan mereka. Dan kebahagiaan mereka yang sesungguhnya ketika tidak bersama. Sebab kurasa bersama-sama mereka hidup, hanya mempertajam luka, janji papa yang tetap mudah diterima mama, tapi ingkarnya setiap hari. Mama yang tetap sabar sebab ingin aku tetap mendapat kasih sayang juga kehidupan yang penuh jaminan dan papa yang ternyata sudah tidak bisa dikendalikan. Sudahlah, semuanya memang harus terjadi. Tuhan memberi mereka waktu berjodoh hanya sampai saat ini” Afra menggengam tanganku kuat sekali, sampai tanganku berwarna pucat.
“Amalasya, kita harus berhenti” deg. Suaranya menggantung penuh keraguan. Aku menatap mata Afra yang terpejam.
“Fra, ada apa sampai kalimat yang tak pantas itu harus kamu keluarkan di hari perayaan tiga tahun kita” aku masih bersikukuh menatap matanya yang mataku sudah gelisah mengembun dan siap tumpah.
“La, ada hal yang tidak bisa aku bicarakan secara rinci”
“Fra, jangan bercanda”
“Aku tidak bercanda Amalasya Malika Dirda” aku muak mendengar dia memanggil namaku lengkap. Diulang-ulang, pada peristiwa menyakitkan yang sungguh aku tidak ingin ingat.
“AFRA” aku sengaja meninggikan suaraku “Gila, kamu gila kewarasanmu mana”
“Mala” suaranya melembut
“Cukup” aku angkat tangan dari gengamannya
“Sepertinya kita harus pulang sekarang, otakmu butuh diopname”
“La, mamaku sebenanya tidak setuju dengan hubungan kita berdua, sebab perempuan yang disukai papaku itu ibumu” suaranya pelan, tapi sangat tajam seperti tombak tepat sasaran.
Perlahan, tanganku melemas, mengendur dan aku mundur satu langkah ke belakang. Seperti petir beribu sambar, aku lemas. kenyataan dari omongan Afra barusan meruntuhkan semua yang ada.
Tubuhku meluruh, aku lemas sekali. mataku sudah rabun sebab airnya mengembun. Aku menyandar batu yang kutapaki tadi, tubuhku sudah turun duduk, bersandar ke batu. Afra nampak gelisah berulangkali mengusap matanya, yang berair dan tangannya nampak mengepal beberapakali.
Aku mengulas kembali cerita Afra tentang papanya yang suka dengan perempuan selain mamanya yang sudah lama. Dan aku mengulas juga cerita hidupku, ibuku baik-baik saja ibuku tidak pernah menunjukan apapun tentang ayah Afra. Setelah ayah pergipun ibu tidak mau menikah lagi. Ibuku yang Ibuku sosok hangat yang sangat kusuka. Bagaimana bisa?
Pikiranku sudah kalang kabut mengawang dan menerawang sosok ibuku, papa Afra dan hubunganku dengannya yang kandas tanpa kuduga.
“La”
“Apa lagi? kenyataan apa lagi yang harus ku dengar” aku sudah terduduk rubuh, mendongak melihat afra yang nampak silau dan kini terasa jauh.
“Tidak ada Mala, aku sayang denganmu, tapi aku lebih sayang dengan mamaku. Mamaku sebenarnya sudah tau sejak lama. Sampai akhirnya surat pengadilan tadi pagi datang, dan mamaku menangis di pelukanku, meminta aku berhenti mencintaimu, berhenti untuk...” Afra nampak berhenti bersuara.
“Berhenti untuk apa fra?” tanyaku dengan suaraparau
“Berhenti membawa sumber luka, pada kehidupan keluarga”
Aku tercekat dengan kalimat yang ringan dilontar mulutnya, tidak pernah kuduga sosok Afra mengatakan kalimat barusan. Aku beku badanku kaku pikiranku kacau kosong dan semua serasa berhenti kecuali air mataku yang mengalir tanpa henti, degupku mendadak mati suri, tulangku sudah rubuh, langit duniaku ikut runtuh.
Bahagia yang selama ini kulukis dengan Afra
Ternyata luka bagi ibunya.
#tugassma #tugassekolah #tugas #anaksekolahan #novel #sulam #luka #novelonline #part1 #sma #madrasahaliyah #puisi #sastra #cerpen #cerita #tugaskuliah
Komentar
Posting Komentar